Kamis, 10 Februari 2022

GETTING OLD or GROWING OLD

 

GETTING OLD or GROWING OLD

 
Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo



Pada suatu hari terjadi diskusi hangat antara dua sahabat. Pada diskusi itu A menunjukkan perasaan bahwa ia TERSINGGUNG dengan perkataan B. 
Kemudian B berkata: “ Sekarang koq mudah tersinggung ya...? Itu gejala getting old lho.” 
Si A kemudian diam sejenak.

Kawan .... 
Cepat tersinggung, marah, kecewa dengan perlakuan orang yang dirasakan kurang menghormati, mau dihargai, tidak mudah lagi bercanda, semua perkara menjadi sangat serius, ini ternyata adalah gejala getting old.

Getting Old adalah istilah untuk mengatakan bahwa seseorang bertambah tua. Oleh karena itu setiap orang pasti bertambah tua. Getting Old adalah sebuah keniscayaan. Banyak orang yang getting old tanpa growing old.

Growing old adalah menjadi semakin matang mengelola emosi, bijaksana dan siap hidup sendiri, banyak kesibukan yang produktif dengan waktu yang dimiliki, pengalaman dan  tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan sendiri.

Getting old ternyata sangat berbeda dengan growing old. Setiap orang tanpa berbuat apa-apa pasti akan getting old, tapi untuk growing old ternyata perlu mempersiapkan diri menghadapi kenyataan sesuai usia untuk lebih bijaksana menghadapi kehidupan.

Growing Old,  perlu pengelolaan emosi, persiapan yang sangat serius dan menyadari perilaku sesuai dengan usia baik cara berfikir maupun kemampuan fisik. Growing old berbeda dengan kekanak- kanakan yaitu seperti merengek, tidak bertanggung jawab, tidak ada komitmen, hanya maunya sendiri. Growing old menanggapi tantangan dengan tabah dan tenang, memberikan yang terbaik sesuai kemampuan dengan ikhlas, kebesaran jiwa serta siap membantu yang tentunya lebih bijak. 

Getting Old membiarkan waktu berlalu, menyesali masa kini dan selalu membanggakan masa lalu, dulu saya begini, dulu saya begitu, sekarang hanya kenangan. 
Ini gejala getting old, menggurui, meremehkan orang, mudah tersinggung. Inilah rupanya gejala yang dicurigai oleh A yang hinggap pada B  

Menanggapi sinyalemen B, si A sadar diri dan mulai berbenah dan memutuskan untuk growing old

Nasehat growing old bukan untuk melemahkan semangat dan menerima nasib. Sebaliknya, bangun dan tetap tegak, growing old, menjadi lebih bijak bukan hanya getting old, menjadi tua. 

Kawan ...
Sangat tragis kalau menjadi tua tanpa lebih bijak. Anda boleh setuju boleh tidak. 

Tua bukan berarti sakit dan berpenyakitan ...
Nikmati hidup dengan fikiran dan fisik yang sehat ...
Tetap aktif dan buat diri berguna, baik di rumah tangga, di keluarga kecil keluarga besar, di lingkungan, semoga bisa sampai lingkungan yg lebih besar lagi.

Bermanfaat tidak harus secara materi, bisa tenaga, pikiran, ilmu, nasihat, kasih, perhatian, dan lain-lain bukan ...?!

Jangan lupa bahagia saat ini untuk menyambut hari tua yang membahagiakan
 
 
                                                                Purworejo, 10 Februari 2022

RED CARPET FOR MOVER TEACHERS

 

RED CARPET FOR MOVER TEACHERS

(Karpet Merah Untuk Guru Penggerak)


Oleh : 
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo


Karpet Merah Untuk Guru Penggerak menjadi topik hangat diskusi para guru pelopor. Mereka yakin guru pelopor jauh lebih unggul daripada guru penggerak.

Sekarang ini istilah guru penggerak sudah dipakai oleh kementerian pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi. Seolah-olah hanya mereka yang menjadi guru penggerak yang bisa memimpin di sekolah. Karpet merah pun digelar. Mereka yang lulus pendidikan dan latihan guru penggerak akan dipromosikan menjadi kepala sekolah. Sementara mereka yang tidak ikut diklat guru penggerak tidak dipromosikan menjadi kepala sekolah.

Bagi saya ini sebuah lelucon lucu. Sebab mereka yang terpilih menjadi kepala sekolah adalah orang yang memang terpilih dan memiliki bakat kepemimpinan. Terkecuali buat mereka yang memang sengaja ditunjuk sebagai kepala sekolah oleh pimpinan yayasan sekolah swasta. Biasanya karena ada hubungan kekeluargaan atau koneksi. Lebih tepatnya dibilang KKN. He he he ... 😃

Tradisi di tempat kami, calon kepala sekolah dipilih oleh baperjakat dinas pendidikan dan wajib mengikuti tes seleksi yang dibuat oleh LP2KS. Tes seleksinya tidak mudah. Saya sendiri ikut merasakan tesnya. Mulai dari tes pedagogik sampai psikologi. Kemudian ada tes wawancara bersama tim LP2KS. Belum lagi ditambah dengan tes kesehatan dan tes tertulis.

Tes seleksi calon kepala sekolah tidak mudah. Jadi kalau hanya lewat seleksi calon guru penggerak yang katanya bagus itu, saya kok belum yakin. Sebab prosesnya saja masih mengundang banyak pertanyaan. Kalau jaringan internet anda lemot, maka sudah bisa dipastikan anda tak lolos program guru penggerak.

Kritik pedas buat program guru penggerak Kemdikbud ristek. Buat saya program ini hanya menghabiskan dana APBN saja. Tidak ada hal-hal baru saya temukan. Dulu namanya guru mitra dan guru imbas. Hanya ganti nama saja menjadi guru penggerak.

Seorang kawan bercerita. Untuk menjadi guru penggerak dibatasi usia. Jadi yang usianya tidak sesuai dengan kriteria guru penggerak, maka dianggap bukan guru penggerak. Lalu guru yang ada di kemenag dianggap bukan guru penggerak karena seleksinya hanya lewat SIM PKB Kemdikbudristek.

Mari kita melihat kembali sejarah perjuangan negara Indonesia. Saat itu ada yang bergabung dalam pasukan Tentara Nasional Indonesia dan ada yang bergabung sebagai pasukan gerilyawan. Mereka menjadi pasukan gerilyawan yang disegani. Baik kawan maupun lawan.

Pagi ini saya menonton film dokumenter sejarah perjuangan para pasukan TNI dan gerilyawan itu. Pasukan Belanda dibuat ketar ketir dan menderita. Mereka akhirnya ada yang mendukung dan membelot mendukung perjuangan rakyat Indonesia.

Setelah menyimak film dokumenter Belanda itu, buat kawan kawan yang tidak terpilih menjadi guru penggerak, tetaplah kita berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita berjuang menjadi guru pelopor dan bukan pengekor. Jadilah guru penggerak yang sebenarnya. Bukan guru yang digerakkan oleh Kemdikbudristek hanya karena ingin dipromosikan sebagai kepala sekolah.

Saat ini jabatan kepala sekolah kurang dilirik. Terlebih lagi oleh mereka yang ingin merdeka mengajar. Banyak kepala sekolah tidak merdeka karena sistem meminta mereka menghamba kepada penguasa dan bukan kepada murid. Padahal slogan yang dikampanyekan adalah menghamba pada murid dan bukan kepada penguasa.

Jadi karpet merah buat guru penggerak silahkan saja digelar. Kami tetap mendukung dan siap untuk memberi kritik pedas. Nanti sama-sama kita lihat kualitasnya. Lalu kita bandingkan dengan kualitas guru pelopor yang diseleksi oleh alam. Guru penggerak menggunakan dana APBN, guru pelopor menggunakan dana mandiri. Serahkan penilaian kepada dewan guru yang kritis di sekolah lalu perhatikan apa yang terjadi.

                                                                                                                        Purworejo, 10 Februari 2022

Minggu, 06 Februari 2022

INDEPENDENT CURRICULUM



 INDEPENDENT CURRICULUM

Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo


        Independent Curriculum judul yang saya pilih dalam tulisan ini sehabis saya berkeliling kelas, melihat para siswa memasuki kelas, guru menyiapkan materi di ruang guru dan aktifitas lainnya dari warga SMP Negeri 40 Purworejo tempat saya bekerja. 
Saya mencoba mencermati dari kebijakan Mendikbudristek dengan sedikit browsing beberapa narasumber tokoh-toko pendidikan yang saya tahu dan semoga tulisan ini sedikit membuka cakrawala kita terkait Independent Curriculum gagasan mas menteri itu.
        Parker J Palmer (1997) mengungkapkan mendidik adalah membimbing siswa melewati perjalanan dari dalam hati ke arah beragam cara yang benar untuk melihat dunia dan menjadi seseorang dalam kehidupan.  
        Ini menegaskan, pendidikan tak dapat dilepaskan dari fitrah manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki nurani, rasa, dan emosi. Fitrah menjadi sumber kekuatan bagi manusia beradaptasi di segala kondisi.
        Sebagai makhluk pembelajar, seseorang makin matang sejalan dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi.
        Tujuan pembelajaran, menguasai hal baru dan yang menjadi pusat perhatian mencari strategi belajar. Saat ada ketidaklancaran, itu tak berhubungan dengan kecerdasan murid. Ini berarti strategi yang tepat belum ditemukan. Teruslah mencari (Carol S Dweck: 2000).
        Maka itu, hakekat kurikulum menyediakan pilihan pengalaman belajar agar setiap anak mampu menemukan cara tepat mengasah kemampuan kemanusiaannya sesuai kekuatan, gaya belajar, minat, bakat, dan potensi unik mereka.
        Engku Sjafei (1926), pendiri INS Kayutanam, Sumatera Barat, menegaskan, "Pendidikan adalah upaya membangkitkan minat siswa agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Penyeragaman jenis, tingkat, dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat selanjutnya memusnahkan keragaman manusia itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. Kritiknya terhadap pendidikan, jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan."
        Ini respon terhadap corak pendidikan pada masa itu, yang hanya mementingkan intelektual dan verbalistik, suatu pendidikan yang hanya menghasilkan pegawai rendahan yang dibutuhkan penguasa pada waktu itu.
        Ki Hajar Dewantara (1936) menegaskan, peran pendidikan dalam memerdekakan manusia, "Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak diluar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri".
        Demikian kuatnya fondasi pendidikan memerdekakan yang dibangun pendahulu kita. Namun, dalam perjalanannya, mengapa pendidikan seperti dipaksa mengingkari maknanya sendiri?
        Kurikulum seperti menjadi belenggu kreativitas guru dan memberatkan beban belajar anak. Ini tergambar dari ungkapan guru ketika ditanya apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran mereka ketika mendengar kata kurikulum.
        Jawaban spontan yang muncul adalah ribet, rumit, padat, kaku, dan membuat otak eror. Ada apa dengan kurikulum? Mengapa semua anak-anak mendapatkan materi sama, pengalaman seragam, tugas serta pengukuran atau penilaian yang sama?
        Mengapa mereka dipaksa menjadi konsumen dalam pendidikan, bukan produsen yang aktif berkarya sambil mengasah potensi diri?
        Hampir dua tahun, anak-anak belajar dari rumah. Bayangan kita, saat ini kamar dan rumah-rumah dipenuhi karya nyata anak sebagai hasil belajar. Ada gambar, puisi, cerita, laporan observasi, film pendek, reportase, ringkasan dan resensi buku, juga lukisan.
Semoga ini bukan hanya jadi impian para pendamba pendidikan hakiki. Kesalahan fatal kita adalah ketika merasa peduli atas pendidikan anak-anak dengan membimbing mereka mencapai titik tertentu.
        Seharusnya, kita mendampingi mereka untuk mampu terus belajar dengan cara kondusif untuk menemukan titik tak terhingga, dan mungkin sama sekali tak ada dalam bayangan kita saat ini (Alfie Kohn: 2009).
        Kondisi ini membuat bangsa kita mengalami krisis pendidikan berkepanjangan. Ini berdampak sistematis terhadap capaian kemampuan anak secara keseluruhan, sisi kemanusiaannya pelan-pelan hilang. Ini diperparah pandemi Covid-19.
        Kurikulum pada masa darurat yang dikembangkan Kemendikbudristek melahirkan harapan, mengurangi kepadatan materi, melonggarkan aturan, guru tak diwajibkan menuntaskan kurikulum. Membuat guru memperoleh ruang cukup mendampingi setiap anak.
        Ini dilanjutkan melalui Kurikulum Prototipe, salah satu opsi untuk pemulihan pembelajaran. Tiga isu utama diusung kurikulum ini. Pertama, pembelajaran berbasis proyek untuk mengembangkan soft skills dan karakter.
        Kedua, fokus pada materi esensial sehingga cukup waktu pembelajaran mendalam bagi kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibilitas bagi guru dalam pembelajaran sesuai kemampuan murid dan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
        Sebuah terobosan berani dalam kebijakan pendidikan, memberikan pilihan, bukan perintah yang mewajibkan. Tampaknya, pemerintah menyadari kekeliruan selama ini, perintah wajib menjadikan kurikulum sebagai belenggu. Welcome to independent curriculum.


Purworejo, 7 Februari 2022

HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd.

  GURU PERLU AKTIF BERLITERASI Oleh : HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd. Kepala SMP Negeri 12 Purworejo KURIKULUM Merdeka adalah kurikulum denga...