Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Pemerhati Pendidikan
“Tulisan ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta
menguraikan secara evaluatif keadaan
atau fenomena tentang pelaksanaan, faktor, dampak dan tujuan re-grouping yaitu efektifitas dan efisiensi dari program re-grouping
sekolah.”
A. Landasan Hukum
Proses re-grouping sekolah di
Indonesia sudah dimulai sejak terbitnya Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/ 2501/ Bangda/ 1998 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penggabungan (Re-grouping)
Sekolah Dasar (Kemendagri,1998).
Tujuan re-grouping tersebut adalah
untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung
sekolah dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan penggunaannya untuk rencana
pembukaan SMP kecil/ kelas jauh atau setara sekolah lanjutan sesuai
ketentuan setempat untuk menampung lulusan Sekolah Dasar.
Dalam perkembangannya telah lahir berbagai kebijakan yang mengatur re-grouping sekolah di negeri ini. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional (Propenas)
Tahun 2000-2004 misalnya, antara lain menentukan bahwa salah satu kegiatan pokok
dalam mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (re-grouping) sekolah-sekolah terutama SD,
agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan
fasilitas yang memadai.
Pada tahun 2002 terbit Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 060/ U/ 2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah
yang antara lain menentukan bahwa :
1) pengintegrasian sekolah merupakan peleburan
atau penggabungan dua atau lebih sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah, dan
2) sekolah hasil integrasi merupakan bentuk sekolah baru (pasal 23). Sekolah yang di integrasikan mengalihkan tanggung jawab edukatif dan administratif peserta didik dan tenaga kependidikan kepada sekolah hasil integrasi.
Sejalan dengan berlakunya kebijakan desentralisasi
bidang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota - sebagaimana terakhir
diatur melalui Undang Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang pemerintahan daerah maka setiap propinsi lazimnya
menetapkan Peraturan Daerah yang antara lain mengatur soal re-grouping sekolah.
Di propinsi Jawa Tengah hal tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan, yang antara lain juga mengatur kewenangan para pihak dalam melakukan penggabungan sekolah. Kewenangan itu selanjutnya diatur lebih rinci melalui Peraturan Gubernur Nomor 56 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang antara lain menentukan bahwa “Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan penambahan, perubahan, penggabungan dan penutupan satuan pendidikan formal pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar (DIKDAS), Pendidikan Menengah (DIKMEN) dan satuan pendidikan nonformal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” (pasal 6 ayat1). Berdasarkan kewenangan di atas, maka setiap kabupaten/kota pada umumnya kemudian menetapkan Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota tentang re-grouping/penggabungan sekolah.
B. Pengertian Re-Grouping
Istilah re-grouping merupakan kata lain dari mergerl penggabungan. Merger merupakan salah satu usaha pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan dengan menggabungkan dan membagi sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan bersama. Adrian Sutedi (2007:85) mengemukakan, ”merger sebagai suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya lagi bubar secara hukum, dan nama perusahaan digunakan adalah perusahaan yang eksis/ ada.” Jadi, merger merupakan penggabungan dua badan usaha atau lebih menjadi satu badan usaha ke dalam badan usaha yang eksis dengan nama badan usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset secara menyeluruh ke dalam badan usaha yang tetap eksis. Hal ini secara kuantitas akan memberikan tambahan modal bagi badan usaha yang eksis tersebut.
Merger/ penggabungan dapat
juga diterapkan di dalam Dunia Pendidikan. Merger/
penggabungan dalam dunia pendidikan lebih berkaitan dengan perampingan jumlah
sekolah. Jumlah sekolah yang cukup banyak dengan jumlah siswa yang kurang
memadai berdasarkan Standar Nasional mengakibatkan pemborosan pembiayaan
pendidikan. Untuk itu, pemerintah mengupayakan alternatif perampingan sekolah dengan nama re-grouping.
Menurut Wibawa (2009:47), “Penggabungan Sekolah Dasar merupakan satu cara
pengembangan sekolah dengan memberdayakan dan mengembangkan berbagai Sumber Daya Pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektifitas sekolah.”
Adapun tujuan re-grouping sekolah menurut
Suparlan (2006) meliputi :
(1) meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk masyarakat.
Dalam arti layanan pendidikan harus bermutu, bukan hanya layanan pendidikan
dengan gedung sekolah yang seadanya;
(2) meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, karena keberadaan beberapa sekolah dalam satu kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan re-grouping sekolah.
Sedangkan langkah-langkah re-grouping sekolah yang ideal menurut Suparlan (2006) antara lain mencakup :
a) mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada semua pemangku kepentingan (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku kepentingan memiliki pemahaman mendalam tentang manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta didik. Sosialisasi ini benar-benar untuk meningkatkan pemahaman secara kritis tentang manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan;
b) membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan komponen yang terkait. Pembentukan tim kepanitiaan agar semua stakeholders dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan;
c) mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan legislatif.
d) pelaksanaan program dan monitoring pelaksanaan program melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini.
e) pelaporan dan pertanggung jawaban jika program itu telah dapat diselesaikan. Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan program perlu dilakukan,misalnya monitoring dampak pelaksanaan program tersebut terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni 'learners, environments, content, processes, dan outcomes' atau peserta didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan hal di atas, sepertinya di kabupaten Purworejo, telah menunjukan semua itu bahwa :
a) implementasi
kebijakan re-grouping di sekolah
dasar diawali dengan pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya dipetakan
berdasarkan skala prioritas oleh Tim Penghapusan
dan Penggabungan Sekolah;
b) monitoring
dilaksanakan secara non formal insidental
dalam upaya menjaga agar pelaksanaan re-grouping
sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, strategi yang digunakan dengan memberikan motivasi bagi sekolah yang akan di re-grouping;
c) evaluasi program re-grouping menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan, efisiensi anggaran, efektivitas penyelenggaraan pendidikan, dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah re-grouping, baik dari segi akademis maupun non akademis.
C. Faktor-faktor Re-Grouping
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya re-grouping dapat dilihat dari beberapa segi. Ada empat faktor yang memungkinkan terjadinya re-grouping, antara lain : (1) perundang-undangan yang berlaku, (2) kondisi siswa, (3) kondisi tenaga pendidik, dan (4) kondisi lingkungan sekolah.
Berbagai perundang-undangan baik diranah nasional maupun daerah (provinsi dan kabupaten) menjadi salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya re-grouping. Dalam perundang-undangan itu terdapat kriteria bahwa salah satu syarat sekolah yang dire-grouping adalah sekolah berada dalam lingkup satu lokasi. Kondisi siswa juga menjadi faktor ke dua terjadinya re-grouping. Jumlah siswa dari tahun ke tahun tidak mengalami perkembangan. Misal rata-rata jumlah seluruh siswa di sekolah setiap tahun hanya dikisaran angka 40 - 50 siswa. Setiap tahun pelajaran baru jumlah penambahannya kisaran 10-15 siswa, sehingga dikatakan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah kurus dan akan menjadi lebih baik jika sekolah tersebut dilakukan re-grouping. Hal ini tentunya lebih efektifitas dan efisiensi untuk pengelolaan pendidikan.
Faktor ketiga yang mempengaruhi re-grouping yaitu kondisi guru. Dalam satu sekolah, jumlah guru kurang/ kekurangan tenaga pendidik. Dengan demikian re-grouping dipandang sebagai solusi atas masalah kekurangan tenaga pendidik tersebut. Adapun kondisi lingkungan sekolah terkait dengan jarak antar sekolah untuk Sekolah Dasar tiap 3000 m satu SD sedang untuk SMP tiap 6000 meter satu SMP (Standar Pelayanan Pendidikan). Ke-empat faktor tersebut di pertimbangkan secara holistik untuk kemungkinan terjadinya re-grouping sekolah.
D. Dampak Program Re-grouping bagi Sekolah
Dampak re-grouping bagi ketenagaan di sekolah yang bersangkutan yaitu terpenuhinya kebutuhan guru karena melalui re-grouping. Semua kebutuhan guru kelas, guru mapel, dan guru mulok terpenuhi. Peraturan baru pemerintah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan dan tuntutan sertifikasi guru, menyatakan bahwa sekolah dikategorikan paralel apabila jumlah siswa lebih dari 34 anak. Sementara guru yang mendapat tunjangan sertifikasi harus mengampu minimal 20 siswa dalam satu kelas. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut maka data yang dientri lewat dapodik tidak valid. (PP 19 Tahun 2017 tentang perubahan atas PP 74 Tahun 2008 tentang guru).
Re-grouping bagi siswa tidaklah berdampak terlalu besar. Siswa tetap mudah bergaul antara satu dengan yang lain, walaupun beda sekolah. Mereka tidak merasakan bahwa selama ini beda sekolah. Hal ini disebabkan karena mereka berada dalam satu kampus/sekolah. Persaingan hanya mereka rasakan saat menghadapi lomba saja. Selebihnya dalam pergaulan sehari-hari, sebelum dan sesudah dire-gruping tidaklah berpengaruh. Dari segi jumlah, dua sekolah yang digabung menjadi satu berdampak pada peningkatan jumlah siswa dua kali lipat. Misalnya, sebelum re-grouping jumlah siswa dikisaran angka 40-50, setelah re-grouping terjadi berada pada 80-100 siswa. Dampak bagi lingkungan/masyarakat; terjaminnya kualitas pendidikan dan pembelajaran bagi putra-putrinya di sekolah dikarenakan faktor kestabilan kesejahteraan bagi guru dan sekolah terjamin.
Dengan adanya re-grouping,
peningkatan mutu sekolah yang terlihat adalah:
(1) prestasi sekolah sejak dilakukan re-grouping semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sekolah
memiliki banyak pilihan siswa yang berbakat. Sebelum dire-grouping sekolah kesulitan memilih anak yang berpotensi untuk mengikuti lomba karena
keterbatasan jumlah siswa. Namun setelah diadakan re-grouping, bisa meraih banyak kejuaran baik tingkat
kecamatan, kabupaten bahkan juga tingkat propinsi.
(2) tenaga pendidik. Mutu tenaga pendidik juga mengalami
peningkatan. Masing-masing kelas mendapatkan pola pengajaran yang semakin
berkualitas. Guru kelas yang masih muda dan berbakat memberikan metode
pengajaran yang semakin kreatif. Begitu
juga ketika mengikuti berbagai macam lomba, guru memiliki dedikasi yang tinggi dalam melatih para siswa untuk mencapai
kejuaraan.
(3) fasilitas/sarana prasarana sekolah. Hasil re-grouping sekolah biasanya menjadikan sekolah memiliki fasilitas dan sarana prasarana yang semakin meningkat. Dengan memiliki banyak ruang kelas, sekolah dapat memanfaatkannya sebagai ruang pembelajaran yang baru, seperti ruang keterampilan, ruang olahraga, ruang kesenian, ruang pertemuan/aula dan gudang. Jadi pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas masing-masing, tetapi dilakukan juga di ruang-ruang lain yang menunjang pelajaran mata pelajaran bidang umum maupun mata pelajaran muatan lokal.
E. Pencapaian Tujuan Re-grouping Sekolah (Efektifitas Dan Efisensi dari Regrouping).
Pencapaian tujuan awal program re-grouping sekolah, yaitu pencapaian efisiensi dan efektifitas tenaga pendidik, keuangan dan sarana prasarana sekolah adalah sebagai berikut. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan tenaga pendidik telah tercapai karena melalui regrouping sekolah kebutuhan akan tenaga pendidik dengan sendirinya terpenuhi. Pemerintah tidak perlu lagi memboroskan uang untuk menggaji guru baru. Dari sisi keuangan, terjadi peningkatan jumlah penerimaan dana BOS. Sejak dilakukan re-grouping, semua bentuk laporan keuangan menjadi tanggung jawab sekolah hasil re-grouping. Sekolah lebih mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang lebih bermutu, melalui penambahan alat peraga pembelajaran dan sejenisnya.
Demikian tulisan kami tentang re-grouping
sekolah sebuah tantangan berat bagi
dinas pendidikan kabupaten untuk melaksanakan program ini. Penghargaan setinggi-tingginya buat Kadinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Purworejo
yang telah berani mengambil risiko untuk menjadi kurang populer ditengah-tengah
sebagian masyarakat guna peningkatan kesejahteraan para guru dan kemajuan
sekolah pada umumnya melalui program re-grouping
sekolah sesuai anjuran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Semoga tulisan ini menambah pemahaman kita semua terkait fenomena re-grouping sekolah termasuk pelaksanaannya serta tujuan re-grouping yang kami tulis apa adanya sesuai dengan kaidah ilmiah. Terimakasih ...
Salam blogger pendidikan.
Purworejo, 17 September 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar