Sabtu, 04 Maret 2023

HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd.

 


GURU PERLU AKTIF BERLITERASI

Oleh :
HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 12 Purworejo


KURIKULUM Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler beragam, lebih mengutamakan kompetensi pelajar agar memiliki cukup waktu untuk mendalami capaian pembelajaran sesuai kebutuhan belajar dan minatnya. Guru sebagai penggerak merdeka belajar, bukan hanya mampu mengajar dan mengelola kelas, tetapi juga harus mampu membangun hubungan efektif dalam komunitas sekolah, memiliki kompetensi peta kemampuan, memahami pelajar, mengembangkan kompetensi, berfokus pada materi esensial, berorientasi holistik, dan menumbuhkan karakter Profil Pelajar Pancasila.

Pelajar adalah individu yang ikut serta dalam proses belajar, terlibat aktif dalam kegiatan pengembangan potensi diri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai makhluk Tuhan, umat manusia, warga negara melalui proses pembelajaran di satuan pendidikan. Dengan berbagai macam perbedaan kemampuan, bakat, minat, bahasa, dan kebudayaan mereka di satuan pendidikan berhak mendapatkan layanan yang terbaik, terutama dari guru.

Guru adalah pendidik profesional, diharapkan memiliki wawasan pengetahuan yang luas, mampu merancang, mengembangkan pengalaman belajar sesuai minat kebutuhan pelajar dengan mengintegrasikan berbagai media dan sumber belajar, mampu mendorong pelajar untuk memiliki ketrampilan berpikir tinggi, serta memiliki Profil Pelajar Pancasila. Untuk itu guru perlu aktif berliterasi. 
Literasi adalah suatu keterampilan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan, yang diperlukan untuk mengembangkan potensi dalam kehidupan sehari-hari maupun bermasyarakat, meliputi literasi baca tulis, numerisasi, sains, digital, finansial, budaya, dan kewarganegaraan.

Literasi baca tulis adalah pengetahuan, kecakapan, untuk mencari, menelusuri, membaca, menulis, mengolah, memahami, menganalisis, menanggapi informasi dalam rangka berpartisipasi, berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Dan ini akan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Literasi numerasi adalah pengetahuan, ketrampilan dalam mengaplikasikan bilangan dan simbol matematika untuk memecahkan, menyelesaikan masalah praktis dan riil dalam berbagai kontek kehidupan sehari-hari yang mungkin tidak terstruktur, memiliki banyak cara penyelesaian, atau bahkan tidak ada penyelesaian.
Literasi sains adalah pengetahuan dan kecakapan ilmiah yang dimiliki individu untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil kesimpulan berdasarkan fakta. Memahami karakteristik sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, inteklektual, dan budaya. Serta kemampuan untuk terlibat dan peduli terhadap isu yang terkait sains. Melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferensi dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar.
Literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan media sosial dan e-mail untuk memaksimalkan pembelajaran, aplikasi meeting untuk pembelajaran online, alat komunikasi, atau jaringan informasi dari komputer. Dengan tetap berdasar pada empat pilar, yaitu etika kehidupan sehari-hari, budaya membangun wawasan kebangsaan, nilai pancasila dan kebhinekaan, ketrampilan memanfaatkan teknologi informasi.
Literasi finansial adalah kepemilikan pengetahuandan ketrampilan dalam mengaplikasikan pemahaman konsep dan resiko, ketrampilan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya agar dapat membuat keputusan yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan finansial individu, sosial dan dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.
Literasi budaya dan kewarganegaraan merupakan kemampuan individu dalam bersikap terhadap lingkungan sosial dengan mengembangkan budaya nasional, membangun, dan melestarikan identitas bangsa ditengah masyarakat global serta tetap memahami hak kewajiban sebagai warga negara.

Kurikulum Merdeka memberikan kesempatan kepada pelajar untuk belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya, belajar diskusi, kolaborasi, presentasi ataupun browsing dengan internet dalam menyelesakan berbagai persoalan dengan penuh kebahagiaan. Dan melalui browsing, pelajar akan memperoleh berbagai macam pengetahuan ataupun hal-hal baru.
Guru sebagai pendidik profesional, dalam menyelenggarakan pembelajaran harus berorientasi kepada pelajar, sesuai minat kebutuhan pelajar, mendorong pelajar untuk memiliki ketrampilan berpikir tinggi, serta memiliki Profil Pelajar Pancasila. Selain itu, guru juga menjadi model bagi pelajar untuk mewujudkan perilaku dan karakter dalam olah pikir, hati dan rasa. Karena itu, guru harus memiliki wawasan pengetahuan yang luas dan baru. Itu bisa diperoleh melalui kegiatan literasi. Karena itu, agar mampu memberikan layanan yang terbaik bagi pelajar dan pengetahuannya selalu ter-update yang terbaru, maka guru perlu aktif berliterasi.


- Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd, Kepala Sekolah Berprestasi, mantan Guru Berprestasi, Tutor            Universitas Terbuka dan Kepala SMP Negeri 12 Purworejo.

Sabtu, 11 Februari 2023

MENDIDIK ANAK BERPIKIR HOTS

 

MENDIDIK ANAK BERPIKIR 
HIGHER ORDER THINKING SKILL


Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.



Kegiatan pelatihan/diklat di hotel Sanjaya, Purworejo selama dua hari dari tanggal 30 s.d 31 Januari 2023 tentang pembuatan soal literasi dan numerasi yang diprakarsai MKKS SMP kabupaten Purworejo tidak terlepas dari cara berpikir tingkat tinggi (HOTS).
Kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) terjadi jika seseorang mampu menyimpan informasi baru kemudian mengaitkannya, menata ulang, dan memanfaatkan informasi tersebut untuk memecahkan masalah tertentu.
Ketika seorang siswa hanya mampu menerima informasi, namun belum mampu mencapai ilmu, maka dapat dikatakan siswa tersebut belum sampai pada tataran berpikir HOTS. Kondisi yang terjadi dilapangan, siswa belum mampu memosisikan diri dalam kondisi HOTS. Iklim pembelajaran yang dibentuk oleh guru belum bersifat HOTS, sehingga mau tidak mau siswa masih dalam level low atau middle. Guru masih bingung dalam melatih siswa khususnya di tingkat menengah untuk dapat berpikir kritis. Guru memiliki kekhawatiran jika siswa diajak berpikir HOTS, justru siswa tidak akan dapat mencapai Kompetensi Dasar yang sedang diajarkan. Padahal seharusnya semakin banyak tujuan, maka semakin dekat pula keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Peran guru sangat penting dalam hal penciptaan suasana kondusif dan memotivasi siswa berpikir tingkat tinggi. Meskipun dianggap susah, sebenarnya karakteristik siswa SMP sangat mendukung dalam membangun pembelajaran HOTS. Siswa usia 13 - 15 tahun memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Kesempatan untuk mengajak siswa memecahkan masalah tentu akan lebih besar. Penciptaan iklim HOTS dapat dimulai dengan mengimplementasikan berbagai model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa. Pendekatan saintifik yang tepat hendaknya mampu mengembangkan rasa ingin tahu.
Guru sebagai ujung tombak keberhasilan pembelajaran harus mampu menciptakan perencanaan yang berkualitas. Pembelajaran yang baik hendaknya dapat menciptakan interaksi antara guru dan siswa. Adanya umpan balik yang aktif merupakan salah satu ciri dari keberhasilan pembelajaran aktif. Di awal pembelajaran setelah mengucapkan salam, membaca doa bersama, dan mengecek kehadiran siswa, sebaiknya dilanjutkan dengan kegiatan literasi. Melalui kegiatan ini guru dapat menggali pengetahuan siswa dengan lebih dalam. Pengetahuan siswa tidak hanya terkungkung pada materi pelajaran di sekolah. Beberapa buku non fiksi yang ada di sudut literasi dapat menambah wawasan umum siswa. Wawasan umum itu akan mengantarkan siswa pada dimensi minat yang akan ditekuni pada masa yang akan datang.
Sementara buku-buku fiksi akan menggiring siswa untuk mengolah rasa, imajinasi, dan kreativitas. Keseimbangan antara otak kanan dan otak kiri tentunya dapat dikembangkan melalui kegiatan literasi. Apersepsi dengan mengaitkan pada pembelajaran sebelumnya merupakan jembatan menuju materi yang akan dipelajari. Apersepsi yang bermakna secara tidak langsung akan memotivasi siswa untuk semangat dalam mengikuti pembelajaran. 
Jadi ke depan tidak hanya soal literasi dan numerasi berbasis HOTS saja yang diperkenalkan kepada siswa tapi bagaimana guru selayaknya mampu mengajarkan materi literasi dan numerasi yang benar kepada siswa. Semoga ...

Minggu, 18 September 2022

PROGRAM RE-GROUPING SEKOLAH DASAR NEGERI

 


PROGRAM RE-GROUPING SEKOLAH DASAR NEGERI 

Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Pemerhati Pendidikan

  

“Tulisan ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan secara evaluatif keadaan atau fenomena tentang pelaksanaan, faktor, dampak dan tujuan re-grouping yaitu efektifitas dan efisiensi dari program re-grouping sekolah.”

  

A.  Landasan Hukum

Proses re-grouping sekolah di Indonesia sudah dimulai sejak terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 421.2/ 2501/ Bangda/ 1998 tentang Pedoman Pelaksanaan Penggabungan (Re-grouping) Sekolah Dasar (Kemendagri,1998). Tujuan re-grouping tersebut adalah untuk mengatasi masalah kekurangan tenaga guru, peningkatan mutu, efisiensi biaya bagi perawatan gedung sekolah dan sekolah yang ditinggalkan dimungkinkan penggunaannya untuk rencana pembukaan SMP kecil/ kelas jauh atau setara sekolah lanjutan sesuai ketentuan setempat untuk menampung lulusan Sekolah Dasar.

Dalam perkembangannya telah lahir berbagai kebijakan yang mengatur re-grouping sekolah di negeri ini. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004 misalnya, antara lain menentukan bahwa salah satu kegiatan pokok dalam mengupayakan pemerataan pendidikan dasar adalah melaksanakan revitalisasi serta penggabungan (re-grouping) sekolah-sekolah terutama SD, agar tercapai efisiensi dan efektivitas sekolah yang didukung dengan fasilitas yang memadai.

Pada tahun 2002 terbit Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 060/ U/ 2002 tentang Pedoman Pendirian Sekolah yang antara lain menentukan bahwa :

1)   pengintegrasian sekolah merupakan peleburan atau penggabungan dua atau lebih sekolah yang sejenis menjadi satu sekolah, dan

2)   sekolah hasil integrasi merupakan bentuk sekolah baru (pasal 23). Sekolah yang di integrasikan mengalihkan tanggung jawab edukatif dan administratif peserta didik dan tenaga kependidikan kepada sekolah hasil integrasi.

Sejalan dengan berlakunya kebijakan desentralisasi bidang pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota - sebagaimana terakhir diatur melalui Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah maka setiap propinsi lazimnya menetapkan Peraturan Daerah yang antara lain mengatur soal re-grouping sekolah.

Di propinsi Jawa Tengah hal tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pendidikan, yang antara lain juga mengatur kewenangan para pihak dalam melakukan penggabungan sekolah. Kewenangan itu selanjutnya diatur lebih rinci melalui Peraturan Gubernur Nomor 56 tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang antara lain menentukan bahwa “Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan penambahan, perubahan, penggabungan dan penutupan satuan pendidikan formal pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan Dasar (DIKDAS), Pendidikan Menengah (DIKMEN) dan satuan pendidikan nonformal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan” (pasal 6 ayat1). Berdasarkan kewenangan di atas, maka setiap kabupaten/kota pada umumnya kemudian menetapkan Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota tentang re-grouping/penggabungan sekolah.

B.  Pengertian Re-Grouping

Istilah re-grouping merupakan kata lain dari mergerl penggabungan. Merger merupakan salah satu usaha pengembangan dan pertumbuhan perusahaan. Merger dilakukan dengan menggabungkan dan membagi sumber daya yang dimiliki perusahaan untuk mencapai tujuan bersama. Adrian Sutedi (2007:85) mengemukakan, ”merger sebagai suatu bentuk penggabungan dua badan usaha, badan usaha yang satu tetap ada, dan yang satunya lagi bubar secara hukum, dan nama perusahaan digunakan adalah perusahaan yang eksis/ ada.” Jadi, merger merupakan penggabungan dua badan usaha atau lebih menjadi satu badan usaha ke dalam badan usaha yang eksis dengan nama badan usaha yang tetap eksis. Penggabungan badan usaha ini mengharuskan adanya peleburan aset secara menyeluruh ke dalam badan usaha yang tetap eksis. Hal ini secara kuantitas akan memberikan tambahan modal bagi badan usaha yang eksis tersebut.

Merger/ penggabungan dapat juga diterapkan di dalam Dunia Pendidikan. Merger/ penggabungan dalam dunia pendidikan lebih berkaitan dengan perampingan jumlah sekolah. Jumlah sekolah yang cukup banyak dengan jumlah siswa yang kurang memadai berdasarkan Standar Nasional mengakibatkan pemborosan pembiayaan pendidikan. Untuk itu, pemerintah mengupayakan alternatif perampingan sekolah dengan nama re-grouping.

Menurut Wibawa (2009:47), “Penggabungan Sekolah Dasar merupakan satu cara pengembangan sekolah dengan memberdayakan dan mengembangkan berbagai Sumber Daya Pendidikan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan dan efektifitas sekolah.”

Adapun tujuan re-grouping sekolah menurut Suparlan (2006) meliputi :

(1)  meningkatkan mutu layanan pendidikan untuk masyarakat. Dalam arti layanan pendidikan harus bermutu, bukan hanya layanan pendidikan dengan gedung sekolah yang seadanya;

(2) meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, karena keberadaan beberapa  sekolah dalam satu kompleks gedung sekolah yang sempit menimbulkan indikasi terjadinya proses persaingan yang tidak sehat antara sekolah yang satu dengan yang lain, sehingga perlu dilakukan re-grouping sekolah.

Sedangkan langkah-langkah re-grouping sekolah yang ideal menurut Suparlan (2006) antara lain mencakup :

a)  mengadakan sosialisasi kebijakan merger sekolah kepada semua pemangku kepentingan      (stakeholders). Langkah pertama ini dilakukan agar para pemangku kepentingan memiliki        pemahaman mendalam tentang manfaat merger bagi semua pihak, terutama bagi peserta      didik. Sosialisasi ini benar-benar untuk meningkatkan pemahaman secara kritis tentang          manfaat kebijakan merger sekolah sebagai strategi untuk meningkatkan mutu pendidikan;

b) membentuk tim atau kepanitiaan, dengan melibatkan komponen yang terkait. Pembentukan  tim kepanitiaan agar semua stakeholders dapat memberikan peran sertanya secara maksimal dalam penyelenggaraan pendidikan;

c)  mengajukan atau memasukkan program merger sekolah ke dalam program dan kegiatan dinas pendidikan, untuk disetujui oleh pemerintah dan legislatif. 

d)  pelaksanaan program dan monitoring pelaksanaan program melibatkan semua stakeholder yang sejak awal dilibatkan dalam program ini.

e) pelaporan dan pertanggung jawaban jika program itu telah dapat diselesaikan. Di samping itu, kegiatan pasca pelaksanaan program perlu dilakukan,misalnya monitoring dampak  pelaksanaan program tersebut terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan, sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan ini, yakni lima dimensi mutu pendidikan: yakni 'learners, environments, content, processes, dan outcomes' atau peserta didik, lingkungan, kurikulum atau bahan ajar, proses pendidikan atau proses pembelajaran, dan hasil pendidikan atau hasil belajar peserta didik.

Berdasarkan hal di atas, sepertinya di kabupaten Purworejo, telah menunjukan semua itu bahwa :

a) implementasi kebijakan re-grouping di sekolah dasar diawali dengan pendataan terhadap sekolah-sekolah dasar yang nantinya dipetakan berdasarkan skala prioritas oleh Tim Penghapusan dan Penggabungan Sekolah;

b) monitoring dilaksanakan secara non formal insidental dalam upaya menjaga agar   pelaksanaan re-grouping sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan, strategi yang       digunakan dengan memberikan motivasi bagi sekolah yang akan di re-grouping;

c) evaluasi program re-grouping menujukkan ketercapaian tujuan, yaitu pemenuhan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan, efisiensi anggaran, efektivitas penyelenggaraan pendidikan, dan adanya peningkatan mutu pendidikan bagi sekolah re-grouping, baik dari segi akademis maupun non akademis.

C.  Faktor-faktor Re-Grouping

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya re-grouping dapat dilihat dari beberapa segi. Ada empat faktor yang memungkinkan terjadinya re-grouping, antara lain : (1) perundang-undangan yang berlaku, (2)  kondisi siswa, (3)  kondisi tenaga pendidik, dan (4)  kondisi lingkungan sekolah.

Berbagai perundang-undangan baik diranah nasional maupun daerah (provinsi dan kabupaten) menjadi salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya re-grouping. Dalam perundang-undangan itu terdapat kriteria bahwa salah satu syarat sekolah yang dire-grouping adalah sekolah berada dalam lingkup satu lokasi. Kondisi siswa juga menjadi faktor ke dua terjadinya re-grouping. Jumlah siswa dari tahun ke tahun tidak mengalami perkembangan. Misal rata-rata jumlah seluruh siswa di sekolah setiap tahun hanya dikisaran angka 40 - 50 siswa. Setiap tahun pelajaran baru jumlah penambahannya kisaran 10-15 siswa, sehingga dikatakan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah kurus dan akan menjadi lebih baik jika sekolah tersebut dilakukan re-grouping. Hal ini tentunya lebih efektifitas dan efisiensi untuk pengelolaan pendidikan. 

Faktor ketiga yang mempengaruhi re-grouping yaitu kondisi guru. Dalam satu sekolah, jumlah guru kurang/ kekurangan tenaga pendidik. Dengan demikian re-grouping dipandang sebagai solusi atas masalah kekurangan tenaga pendidik tersebut. Adapun kondisi lingkungan sekolah terkait dengan jarak antar sekolah untuk Sekolah Dasar tiap 3000 m satu SD sedang untuk SMP tiap 6000 meter satu SMP (Standar Pelayanan Pendidikan). Ke-empat faktor tersebut di pertimbangkan secara holistik untuk kemungkinan terjadinya re-grouping sekolah.

D.  Dampak Program Re-grouping bagi Sekolah

Dampak re-grouping bagi ketenagaan di sekolah yang bersangkutan yaitu terpenuhinya kebutuhan guru karena melalui re-grouping. Semua kebutuhan guru kelas, guru mapel, dan guru mulok terpenuhi. Peraturan baru pemerintah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan dan tuntutan sertifikasi guru, menyatakan bahwa sekolah dikategorikan paralel apabila jumlah siswa lebih dari 34 anak. Sementara guru yang mendapat tunjangan sertifikasi harus mengampu minimal 20 siswa dalam satu kelas. Apabila tidak memenuhi syarat tersebut maka data yang dientri lewat dapodik tidak valid. (PP 19 Tahun 2017 tentang perubahan atas PP 74 Tahun 2008 tentang guru).

Re-grouping bagi siswa tidaklah berdampak terlalu besar. Siswa tetap mudah bergaul antara satu dengan yang lain, walaupun beda sekolah. Mereka tidak merasakan bahwa selama ini beda sekolah. Hal ini disebabkan karena mereka berada dalam satu kampus/sekolah. Persaingan hanya mereka rasakan saat menghadapi lomba saja. Selebihnya dalam pergaulan sehari-hari, sebelum dan sesudah dire-gruping tidaklah berpengaruh. Dari segi jumlah, dua sekolah yang digabung menjadi satu berdampak pada peningkatan jumlah siswa dua kali lipat. Misalnya, sebelum re-grouping jumlah siswa dikisaran angka 40-50, setelah re-grouping terjadi berada pada 80-100 siswa. Dampak bagi lingkungan/masyarakat; terjaminnya kualitas pendidikan dan pembelajaran bagi putra-putrinya di sekolah dikarenakan faktor kestabilan kesejahteraan bagi guru dan sekolah terjamin.

Dengan adanya re-grouping, peningkatan mutu sekolah yang terlihat adalah:

(1) prestasi sekolah sejak dilakukan re-grouping semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sekolah memiliki banyak pilihan siswa yang berbakat. Sebelum dire-grouping sekolah kesulitan memilih anak yang berpotensi untuk mengikuti lomba karena keterbatasan jumlah siswa. Namun setelah diadakan re-grouping, bisa meraih banyak kejuaran baik tingkat kecamatan, kabupaten bahkan juga tingkat propinsi.

(2) tenaga pendidik. Mutu tenaga pendidik juga mengalami peningkatan. Masing-masing kelas mendapatkan pola pengajaran yang semakin berkualitas. Guru kelas yang masih muda dan berbakat memberikan metode pengajaran yang semakin kreatif. Begitu juga ketika mengikuti berbagai macam lomba, guru memiliki dedikasi yang tinggi dalam melatih para siswa untuk mencapai kejuaraan.

(3) fasilitas/sarana prasarana sekolah. Hasil re-grouping sekolah biasanya menjadikan sekolah memiliki fasilitas dan sarana prasarana yang semakin meningkat. Dengan memiliki banyak ruang kelas, sekolah dapat memanfaatkannya sebagai ruang pembelajaran yang baru, seperti ruang keterampilan, ruang olahraga, ruang kesenian, ruang pertemuan/aula dan gudang. Jadi pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam kelas masing-masing, tetapi dilakukan juga di ruang-ruang lain yang menunjang pelajaran mata pelajaran bidang umum maupun mata pelajaran muatan lokal.

E.  Pencapaian Tujuan Re-grouping Sekolah (Efektifitas Dan Efisensi dari Regrouping).

Pencapaian tujuan awal program re-grouping sekolah, yaitu pencapaian efisiensi dan efektifitas tenaga pendidik, keuangan dan sarana prasarana sekolah adalah sebagai berikut. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan tenaga pendidik telah tercapai karena melalui regrouping sekolah kebutuhan akan tenaga pendidik dengan sendirinya terpenuhi. Pemerintah tidak perlu lagi memboroskan uang untuk menggaji guru baru. Dari sisi keuangan, terjadi peningkatan jumlah penerimaan dana BOS. Sejak dilakukan re-grouping, semua bentuk laporan keuangan menjadi tanggung jawab sekolah hasil re-grouping. Sekolah lebih mampu menyelenggarakan proses pembelajaran yang lebih bermutu, melalui penambahan alat peraga pembelajaran dan sejenisnya.

Demikian tulisan kami tentang re-grouping sekolah sebuah tantangan berat bagi dinas pendidikan kabupaten untuk melaksanakan program ini. Penghargaan setinggi-tingginya buat Kadinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Purworejo yang telah berani mengambil risiko untuk menjadi kurang populer ditengah-tengah sebagian masyarakat guna peningkatan kesejahteraan para guru dan kemajuan sekolah pada umumnya melalui program re-grouping sekolah sesuai anjuran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.

Semoga tulisan ini menambah pemahaman kita semua terkait fenomena re-grouping sekolah termasuk pelaksanaannya serta tujuan re-grouping yang kami tulis apa adanya sesuai dengan kaidah ilmiahTerimakasih ... 

Salam blogger pendidikan.

 

Purworejo, 17 September 2022

 

 

Selasa, 26 Juli 2022

Panduan Pembelajaran Dan Asesmen


PANDUAN PEMBELAJARAN DAN ASESMEN



Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo
Memahami Pembelajaran Paradigma Baru, Pembelajaran paradigma baru memastikan praktik pembelajaran untuk berpusat pada peserta didik. Dengan paradigma baru ini, pembelajaran merupakan satu siklus yang berawal dari pemetaan standar kompetensi, perencanaan proses pembelajaran, dan pelaksanaan asesmen untuk memperbaiki pembelajaran sehingga peserta didik dapat mencapai kompetensi yang diharapkan. Pembelajaran paradigma baru memberikan keleluasaan bagi pendidik untuk merumuskan rancangan pembelajaran dan asesmen sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik. Pada pembelajaran paradigma baru, Profil Pelajar Pancasila berperan menjadi penuntun arah yang memandu segala kebijakan dan pembaharuan dalam sistem pendidikan Indonesia, termasuk pembelajaran, dan asesmen. Kurikulum Asesmen Pembelajaran, Tujuan Pembelajaran, Proses Asesmen, Proses Pembelajaran. 
Apakah pembelajaran paradigma baru? Gambar 1. Kerangka Pengembangan Pembelajaran pada Pembelajaran Paradigma Baru, 2. Panduan Pembelajaran dan Asesmen A. Kerangka Kurikulum pada Sekolah Penggerak, Pemerintah berperan menyiapkan: 
1. Profil Pelajar Pancasila Kompetensi dan karakter yang tertuang dalam 6 dimensi, berfungsi sebagai penuntun arah yang memandu segala kebijakan dan pembaharuan dalam sistem pendidikan Indonesia, termasuk pembelajaran, dan asesmen. 
2. Struktur Kurikulum Jabaran mata pelajaran beserta alokasi jam pembelajaran. 
3. Capaian Pembelajaran Kompetensi dan karakter yang dicapai setelah menyelesaikan pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. 
4. Prinsip Pembelajaran dan Asesmen Berfungsi sebagai nilai-nilai yang mendasari pelaksanaan pembelajaran dan asesmen. 
Komponen yang dikembangkan satuan pendidikan: 
1. Kurikulum Operasional Menjabarkan kebijakan, rencana program dan kegiatan yang akan dilakukan satuan pendidikan dalam melaksanakan pembelajaran paradigma baru. 
2. Perangkat Ajar Berbagai perangkat yang digunakan untuk mendukung pembelajaran paradigma baru.

Sistematika Penyusunan Kurikulum Operasional Sekolah (KOS)

 

SISTEMATIKA PENYUSUNAN 
KURIKULUM OPERASIONAL SEKOLAH 
(KOS)

Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo

Kurikulum operasional di satuan pendidikan memuat seluruh rencana proses belajar yang diselenggarakan di satuan pendidikan, sebagai pedoman seluruh penyelenggaraan pembelajaran. Untuk menjadikannya bermakna, kurikulum operasional satuan pendidikan dikembangkan sesuai dengan konteks dan kebutuhan peserta didik dan satuan pendidikan. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (UU Sisdiknas/2003). Pemerintah pusat menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum yang menjadi acuan untuk pengembangan kurikulum operasional satuan pendidikan. Komponen dalam kurikulum operasional ini disusun untuk membantu proses berpikir dan mengembangkan satuan pendidikan. Dalam pengembangannya, dokumen ini juga merupakan hasil refleksi semua unsur pendidik di satuan pendidikan yang kemudian ditinjau secara berkala guna disesuaikan dengan dinamika perubahan dan kebutuhan peserta didik. 
LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN KURIKULUM OPERASIONAL (bagi yang belum pernah menyusun kurikulum operasional di satuan pendidikan : Menganalisis konteks KARAKTERISTIK SATUAN PENDIDIKAN. Merumuskan VISI MISI TUJUAN. Menentukan PENGORGANISASIAN PEMBELAJARAN. Menyusun RENCANA PEMBELAJARAN. Sampul Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum Analisis dan Diagnosis Kebutuhan. Langkah pertama dalam pengembangan kurikulum adalah menganalisis dan mendiagnosis kebutuhan. ... Perumusan Tujuan. ... Pengorganisasian Materi. ... Pengorganisasian Pengalaman Belajar. ... Penggunaan Alat Evaluasi. 
SISTEMATIKA PENYUSUNAN KOSP (KURIKULUM OPERASIONAL SATUAN PENDIDIKAN) Lembar Pengesahan Lembar Validasi Kata Pengantar Daftar isi BAB I ANALISIS KARAKTERISTIK SATUAN PENDIDIKAN A. Analisis Karakteristik Peserta Didik B. Analisis Guru dan Tenaga kependidikan C. Analisis Sarana dan Prasarana D. Analisis Lingkungan Satuan Pendidikan E. Analisis Kemitraan Satuan Pendidikan F. Analisis Pembiayaan Satuan Pendidikan. Setiap akhir Sub Bab dijelaskan analisis masing-masing karakteristik dengan cara mendiskripsikan kekuatan dan kelemahan. Analisis dapat juga dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT (Strenght:kekuatan, Weakness:kelemahan, Opportunity:peluang, dan Threat:tantangan atau ancaman). Hasil analisis ini dapat digunakan untuk menentukan rumusan visi, misi dan tujuan. 
BAB II VISI, MISI DAN TUJUAN A. Visi Visi adalah cita-cita bersama pada masa mendatang dari warga satuan pendidikan, yang dirumuskan berdasarkan masukan dari seluruh warga satuan pendidikan. Visi merupakan gambaran masa depan yang ingin dicapai oleh satuan pendidikan. Visi harus dapat memberikan panduan/arahan serta motivasi. Visi harus tampak realistis, kredibel dan atraktif. Sebaiknya mudah dipahami, relatif singkat, ideal dan berfokus pada mutu, serta memotivasi setiap pemangku kepentingan. Pada bagian ini ditambahkan indikator setiap kata kunci. B. Misi (Misi adalah pernyataan bagaimana satuan pendidikan mencapai visi yang ditetapkan untuk menjadi rujukan bagi penyusunan program jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, dengan berdasarkan masukan dari seluruh warga satuan pendidikan. Pernyataan misi menunjukkan secara jelas mengenai apa yang hendak dicapai oleh satuan pendidikan. Rumusan misi selalu dalam bentuk kalimat yang menunjukkan tindakan, bukan kalimat yang menunjukkan keadaan sebagaimana pada rumusan visi. Antara indikator visi dengan rumusan misi harus ada keterkaitan atau terdapat benang merahnya secara jelas. Satu indikator visi dapat dirumuskan lebih dari satu rumusan misi. Misi menggambarkan upaya bersama yang berorientasi kepada peserta didik.). C. Tujuan (Tujuan adalah gambaran hasil yang akan dicapai dalam kurun waktu tertentu oleh setiap satuan pendidikan dengan mengacu pada karakteristik atau keunikan setiap satuan pendidikan. Tujuan harus serasi dan mendeskripsikan misi dan nilai-nilai satuan pendidikan. Tujuan fokus pada hasil yang diinginkan pada peserta didik. Tujuan harus spesifik, terukur, dapat dicapai dalam jangka waktu tertentu (jangka pendek, menengah dan panjang). Rumusan kalimat dalam tujuan harus mengandung SMART (specific, measurable, achievable, relevant dan time bound). Specific: Apakah tujuan sudah dibuat sederhana dan spesifik?, Apakah tujuan sudah dapat dijadikan ciri khas satuan pendidikan?. Measurable: Apakah tujuan dapat diukur dan dapat memotivasi agar tercapai? Apakah kriteria pencapaiannya jelas?. Achievable/Attainable: Apakah tujuan dapat dicapai dan dilaksanakan oleh seluruh warga satuan pendidikan?, Apakah tujuan melibatkan pihak eksternal?, Relevant: Apakah tujuan relevan dengan misi dan masuk akal?, Apakah tujuan menempatkan pelajar sehingga mampu memperkuat kompetensinya?. Time bound: Apakah tujuan memiliki alokasi waktu yang lebih fleksibel dengan linimasa yang disesuaikan dengan kebutuhan?, Apakah tujuan melibatkan semua pendidik dalam pembuatan linimasa tersebut?. 
BAB III PENGORGANISASIAN PEMBELAJARAN Pengorganisasian pembelajaran adalah cara satuan pendidikan mengatur pembelajaran muatan kurikulum dalam satu rentang waktu. Pengorganisasian ini termasuk pula mengatur beban belajar dalam struktur kurikulum, muatan mata pelajaran dan area belajar, pengaturan waktu belajar, serta proses pembelajaran. A. Intrakurikuler Pembelajaran berisi muatan mata pelajaran dan muatan tambahan lainnya jika ada mulok. B. Kokurikuler: Project penguatan profil pelajar pancasila Kegiatan kokurikuler yang dirancang terpisah dari intrakurikuler untuk menguatkan upaya pencapaian kompetensi dan karakter sesuai dengan profil pelajar Pancasila melalui tema dan pengelolaan projek berdasarkan dimensi dan fase. Pada bagian ini didiskripsikan perencanaan projek, tim projek, tema projek, dimensi, elemen, sub elemen, pengaturan waktu, asesmen dan pelaporan. Pemilihan tema dan dimensi projek mengacu pada hasil analisis karakteristik satuan pendidikan di BAB I. C. Ekstrakurikuler (bakat dan minat) Kegiatan kurikuler yang dilakukan di luar jam belajar di bawah bimbingan dan pengawasan satuan pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler mewadahi bakat dan minat peserta didik. Penentuan jenis ekstrakurikuler disesuaikan dengan analisis karakteristik satuan pendidikan pada BAB I. D. Pembiasaan Sekolah.
BAB IV PERENCANAAN PEMBELAJARAN A. Rencana pembelajaran untuk ruang lingkup satuan pendidikan Pada bagian ini dijelaskan sumber CP (capaian pembelajaran), karakteristik setiap mata pelajaran, elemen dan diskripsi CP dari setiap mapel, dan peran atau hubungan antar elemen untuk menuju CP yang diharapkan di setiap mapel. B. Rencana pembelajaran untuk ruang lingkup kelas (ATP dan modul ajar/RPP). Pada bagian ini dijelaskan bagaimana TP (Tujuan Pembelajaran) dirumuskan berdasarkan deskripsi CP dengan melihat hubungan antar elemen. Berikutnya dijelaskan bagaimana ATP (Alur Tujuan Pembelajaran) disusun untuk setiap mapel. 
BAB V PENDAMPINGAN, EVALUASI DAN PENGEMBANGAN PROFESIONAL A. Pendampingan implementasi kurikulum B. Evaluasi implementasi kurikulum C. Program pengembangan Profesional Pada bagian ini sebaiknya dianalisis terlebih dahulu Rapor Pendidikan yang akan digunakan sebagai acuan dalam menyusun perencanaan program untuk pengembagan profesional. 
DAFTAR PUSTAKA Regulasi dan seluruh panduan kurikulum merdeka. 
LAMPIRAN Lampiran ini dapat berupa file atau link dalam google drive atau website. Lampiran ini tidak harus semua, namun dapat berupa contoh untuk mapel tertentu. A. Capaian Pembelajaran B. Alur Tujuan Pembelajaran C. Modul Ajar D. Modul Projek.

Tema Umum Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila Jenjang SMP


TEMA UMUM PROYEK PENGUATAN 
PROFIL PELAJAR PANCASILA JENJANG SMP


Oleh : 
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila menjadi salah satu fokus Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) saat ini. Profil Pelajar Pancasila diyakini dapat mencapai visi pendidikan di Indonesia, yaitu mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila. Dalam implementasinya, Kemendikbudristek telah menetapkan 7 tema pilihan bagi jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Beberapa tema Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila ini nantinya dijalankan oleh satuan pendidikan dalam satu tahun ajaran berdasarkan isu yang relevan di lingkungan peserta didik. Apa saja tema-tema tersebut?

• Gaya Hidup Berkelanjutan Tema ini dimaksudkan untuk memahami dampak dari aktivitas manusia, baik jangka pendek maupun panjang, terhadap kelangsungan kehidupan di dunia maupun lingkungan sekitarnya. Hal yang ditekankan di sini adalah membangun kesadaran untuk bersikap dan berperilaku ramah lingkungan serta mencari jalan keluar untuk masalah lingkungan. Untuk contoh kegiatan yang bisa dilakukan oleh peserta didik misalnya seperti kerja bakti membersihkan lingkungan ataupun penanaman pohon guna penghijauan lahan.
• Kearifan Lokal Saat ini Indonesia sedang dilanda krisis identitas diri yang disebabkan oleh lunturnya budaya dan juga kearifan lokal masyarakat. Maka dari itu tema ini dipilih agar dapat membangun rasa ingin tahu dan kemampuan inkuiri melalui eksplorasi tentang budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar atau daerah tersebut, serta perkembangannya. Untuk kegiatannya bisa disesuaikan dengan kearifan lokal masing-masing.
• Bineka Tunggal Ika Intoleransi dan radikalisme menjadi isu yang cukup menjadi sorotan belakangan ini. Oleh karena itu, Kemendikbudristek merasa perlu mengangkat tema bineka tunggal ika dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Peserta didik diajak untuk mengenal belajar membangun dialog penuh hormat tentang keberagaman kelompok agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sekitar dan di Indonesia serta nilai-nilai ajaran yang dianutnya.
• Bangunlah Jiwa dan Raganya Selain intoleransi dan radikalisme, perundungan juga menjadi perhatian khusus, terutama di lingkungan sekolah. Tema ini diperuntukkan bagi satuan pendidikan guna membangun kesadaran dan keterampilan peserta didik untuk memelihara kesehatan fisik dan mental, baik untuk dirinya maupun orang sekitarnya. Satuan pendidikan bisa membuat kegiatan hari anti-bullying dan sebagainya untuk menekan kasus perundungan di lingkungannya. 
• Suara Demokrasi Indonesia merupakan negara demokrasi di mana setiap keputusan sebisa mungkin diambil secara musyawarah. Hal ini diangkat dalam Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila untuk menumbuhkan jiwa-jiwa demokrasi peserta didik melalui kegiatan-kegiatan tertentu. Misalnya kegiatan pemilihan ketua OSIS.
• Berekayasa dan Berteknologi Untuk Membangun NKRI Pemanfaatan teknologi yang maksimal bisa menandakan majunya kualitas SDM sebuah bangsa. Maka dari itu, implementasi rekayasa dan teknologi terus didorong agar peserta didik dapat berkolaborasi dalam melatih daya pikir kritis, kreatif, inovatif, sekaligus kemampuan berempati untuk berekayasa membangun produk berteknologi yang memudahkan kegiatan dirinya dan juga sekitarnya. Satuan pendidikan dapat membuat proyek yang mendorong peserta didik membuat desain inovatif sederhana dengan menerapkan teknologi yang dapat menjawab permasalahan yang ada di sekitar sekolah.
• Kewirausahaan Tema ini diusung dalam rangka menumbuhkan jiwa-jiwa kewirausahaan bagi peserta didik. Peserta didik nantinya akan mengidentifikasi potensi ekonomi dan peluang usaha di tingkat lokal dan masalah yang ada dalam pengembangan potensi dan pengembangan usaha tersebut, serta kaitannya dengan aspek lingkungan, sosial dan kesejahteraan masyarakat. Contoh kegiatannya adalah peserta didik bisa membuat produk dengan konten lokal yang memiliki daya jual. 
Itulah tadi 7 tema pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Seluruh satuan pendidikan dapat memilih 3 tema di awal tahun ajaran yang nantinya akan dilaksanakan selama satu tahun. YUK BPK/IBU DI SHARE KE TEMAN2 GURU INDAHNYA SALING BERBAGI...

Senin, 04 April 2022

Nama-nama Legendaris Jawa yang Terancam Punah


NAMA-NAMA LEGENDARIS JAWA YANG TERANCAM PUNAH


Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Pemerhati Sejarah


Kakek nenek buyut kita dulu, mungkin masih memakai nama Jawa yang kental dan khas. Generasi setelahnya, mulai jarang, banyak campuran dengan nama berbau 'negeri' asing.
Sebelum benar-benar kita tak mampu mengingatnya, ada baiknya kita segarkan kembali ingatan kita, bahwa nama-nama berikut adalah nama-nama leluhur Jawa, di masa lalu. 
Tak ada lagi nama bayi yang lahir dengan nama berikut (mohon ditambahkan jika kurang)
Nama berawalan Su-
Suparno, Sumarni, Suyoto, Sugeng, Susilo, Sulastri, Sulasmi, Supangat, Sundari,                Sungatmo, Sujiati, Sumiati, Sumarsono, Sumarno, Sumiah, Sunari, Suwarno dan lainnya.

Nama berawalan Nga-
Ngatemi, Ngadiran, Ngatminah, Ngasiran, Ngatmo, Ngadirin, Ngadiran, Ngatmono,            Ngatirah, Ngadimin dan lainnya.

Nama berawalan Pa-
Painem, Paijo, Pademi, Pairan, Pairin, Patemi, Patemo, Pariman, Parimin, Pateman,            Paijem, Paimo, Parno dan lainnya.

Nama berawalan Wa-
Wagirin, Wagiran, Wadi, Wagimo, Watmi, Wateman, Wagimin, Wajiati, Warmo, Wagiyo, Wagiman dan lainnya.

Nama berawalan Ju-
Jumiran, Jumirah, Juminten, Juminten, Jumiati, Jumiah dan lainnya.

Nama berawalan Sa-
Sarmi, Satemo, Sakiran, Sakirin, Samiati, Sariwati, Sariyan, Sateman dan lainnya.

Nama berawalan Ka-
Kadirin, Kadiran, Katminah, Katemi, Kasiati, Kasiah, Katminah, Katmijo dan lainnya.

Nama berawalan Mu-
Mukidi, Muntamah, Mujiati, Mujiatun, Mulyono, Mujono, Mujiasih dan lainnya.

Nama berawalan Po-
Poniman, Ponimin, Ponijan, Poniran, Ponidi,  dan lainnya.

Nama berawalan Tu-
Tukirin, Tukinem, Tukijan, Tumirah, Tukiran dan lainnya.


                    ðŸ˜„😄😄😄😄 ...... SELAMAT MENJALANKAN IBADAH PUASA.



HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd.

  GURU PERLU AKTIF BERLITERASI Oleh : HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd. Kepala SMP Negeri 12 Purworejo KURIKULUM Merdeka adalah kurikulum denga...