Kamis, 10 Maret 2022

KEPEMIMPINAN ADAPTIF KEPALA SEKOLAH DI ERA VUCA


Kepemimpinan Adaptif Kepala Sekolah 
di Era VUCA


Oleh : 
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo


Hari kamis, 10 Maret 2022 kami diundang di ruang Arahiwang Setda kabupaten Purworejo dalam rangka pembinaan Re-orientasi Kinerja Aparatur Bidang Pendidikan dengan pembicara tunggal bapak Drs. Said Romadhon Setda kabupaten Purworejo. Kami bangga sekali dibawah komando kepemimpinan bapak Setda yang sangat luas pengetahuannya itu. Ada banyak informasi/penekanan-penekanan bagaimana menjadi pegawai negeri sipil yang baik dan tangguh luar biasa dimasa depan. Utamanya bagi saya selaku kepala sekolah yang memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah institusi pendidikan formal. Ibarat nahkoda sayalah yang menjadi penentu ke arah mana kapal pendidikan tersebut akan berlayar. Ibarat seorang pilot kepiawaian saya dalam menghadapi turbulensi situasi dan kondisi saat ini menjadi tolok ukur sejauh mana lembaga yang saya pimpin dapat berkembang dan dipercaya masyarakat. 
Hindari patologi birokrasi seperti disfungtion, fraud, waste, abuse dan red tapes untuk menuju reformasi birokrasi yang efektif, efisien dan berkinerja. Ada beberapa daerah rawan korupsi diantaranya perencanaan dan anggaran, pengadaan barang dan jasa, pajak dan retribusi, perjalanan dinas, hibah dan bansos serta jual beli jabatan yang kesemuanya itu harus diwaspadai.
Kepala sekolah secara istilah dapat diartikan sebagai tenaga fungsional yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan dimana proses belajar mengajar berlangsung. Pada umumnya kepala sekolah diangkat dari kalangan guru yang memiliki kompetensi lebih dalam hal kepemimpinan baik secara emosional serta manajerial. 
Namun begitu ada juga pemilik sekolah atau yayasan yang memang membuka lowongan pekerjaan untuk mencari kandidat-kandidat kepala sekolah di lembaga yang mereka miliki. Tentunya dengan tetap menjadikan kompetensi leadership sebagai syarat utamanya.
Sementara itu Permendiknas no. 19 tahun 2007 dan no. 28 tahun 2010 secara singkat menjabarkan bahwa tugas, pokok dan fungsi kepala sekolah antara lain adalah; (1) tugas administrasi, (2) tugas supervisi, (3) tugas memimpin, (4) tugas sebagai manajer, (5) tugas kewirausahaan, (6) tugas sebagai inovator, (7) tugas mengembangkan kurikulum, dan (8) tugas sebagai penggerak. Dari sekian tupoksi tersebut terangkum dalam satu kata yaitu kepemimpinan. Sedemikian pentingnya kompetensi kepemimpinan untuk menjadi kepala sekolah, apalagi di era VUCA saat ini. 
Salah satu model kepemimpinan yang saat ini ramai diterapkan oleh berbagai organisasi, baik organisasi bisnis, sosial, politik, ekonomi bahkan pendidikan adalah model kepemimpinan adaptif. Apa itu kepemimpinan Adaptif? Sebelum kita membahas lebih jauh, saya akan menjelaskan terlebih dahulu tentang era VUCA yang saat ini tengah menggejala di dunia pada umumnya.

Pengertian VUCA
Perubahan di dunia dewasa ini terjadi begitu cepat ditandai dengan perkembangan teknologi yang semakin mempermudah kerja manusia. Dari era industri yang sebelumnya berfokus pada pemanfaatan komputer untuk pengoperasian peralatan-peralatan sehari-hari kini manusia telah sampai pada masa dimana kehidupan sehari-hari tidak lepas dari yang namanya aplikasi, algoritma dan data cloud.
Sejak saat itulah kita masuk ke era distruptif, era dimana ketidakpastian menjangkiti hampir di seluruh lini kehidupan. Ketidakpastian tersebut terjadi karena adanya perubahan yang sangat cepat khususnya pada bidang teknologi. 
Menganalisa dari fenomena perubahan tersebut para pakar manajemen menyebut bahwa saat ini kita sedang mengalami era VUCA. Istilah VUCA telah ada sejak tahun 90-an, diperkenalkan pertama kali oleh US Army untuk menggambarkan kondisi geopolitik Amerika pasca perang dingin yang tentunya berakibat pada kondisi sosial, ekonomi dan politik yang tidak menentu kala itu. 
VUCA sendiri merupakan akronim dari Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (kompleks), dan Ambigue (tidak jelas).
Seiring berjalannya waktu istilah VUCA kembali digunakan oleh sebagian besar korporasi untuk menggambarkan pesatnya perkembangan teknologi yang mendorong pada perubahan manajemen dalam pengelolaan sebuah coorporate
Tidak hanya sektor bisnis, menurut saya istilah VUCA juga relevan jika dikaitan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Ditambah lagi kondisi pandemi yang berlangsung sejak kuartal pertama tahun 2020 mengakibatkan seluruh lini kehidupan berubah termasuk pendidikan.
Untuk itu saya akan menjelaskan definisi VUCA dalam kaitannya dengan sektor pendidikan berikut indikator masing-masing poin.

1. Volatile (bergejolak)
Komponen ini menggambarkan bahwa saat ini, sulit bagi lembaga pendidikan untuk berjalan secara stabil akibat laju perkembangan teknologi yang sangat cepat. 
Belum lama kita masuk ke era industri 4.0 yang menuntut adaptasi teknologi di semua sektor kehidupan, tiba-tiba saja dikejutkan dengan hadirnya virus corona. 
Gejolak tersebut membuat pemerintah mengambil kebijakan bahwasanya kegiatan belajar mengajar harus dilaksanakan secara daring (online). 
Tak ayal semua lembaga pendidikan baik formal maupun non formal pun dituntut untuk segera beradaptasi secara cepat khususnya dalam hal teknologi digital.

2. Uncertainty (Ketidakpastian)
Komponen ini menggambarkan bahwa tidak ada yang dapat dipastikan untuk menjalankan usaha pada hari ini, betapa banyak bisnis yang gulung tikar diterpa badai pandemi corona, bukan karna virusnya tapi karna gerak manusia kini terbatasi. Tidak terkecuali lembaga pendidikan khususnya pendidikan swasta. 
Ketidakpastian tersebut juga diakibatkan oleh situasi pandemi saat ini yang tidak jelas akan berlangsung sampai kapan. Sudah beberapa kali pemerintah membuka-tutup sekolah akibat fluktuatifnya angka penyebaran virus Corona.

3. Complexity (kekacauan)
Komponen ini menggambarkan strategi pengelolaan lembaga pendidikan yang semakin rumit di tengah laju perkembangan teknologi dan kondisi pandemi saat ini. 
Jika dahulu lembaga pendidikan cukup berfokus pada stabilitas jumlah siswa yang mendaftar dan kualitas lulusannya saja, kini sekolah harus mencari model pembelajaran yang sesuai dan terukur secara kualitas meskipun dilaksanakan secara online. 
Tidak hanya terkait kegiatan belajar mengajar, sekolah juga harus bijak menghadapi para wali murid yang juga terdampak secara finansial oleh pandemi.

4. Ambiguity (kebiasan)
Ambiguitas disini dapat diartikan dengan semakin kabur/pudarnya sekat antara lembaga pendidikan formal dan non formal. Dulu masyarakat masih beranggapan bahwa hasil dari pendidikan yaitu harus memiliki ijazah formal, karenanya harus sekolah di sekolah yang formal. 
Namun kini paradigma masyarakat berubah, para orangtua tidak lagi menjadikan ijazah sebagai fokus utama sekolah anak-anaknya namun seperti apa kualitas pendidikannya. Sehingga saat ini pilihan home schooling bukan lagi hal yang aneh. 
Selain itu ambiguitas berikutnya yaitu kebiasan kurikulum yang harus diterapkan oleh sekolah. Selama 3 tahun belakang ini sudah ada 3 model kurikulum yang ditawarkan oleh pemerintah, yaitu kurikulum 2013, kurikulum darurat pandemi dan yang paling anyar adalah kurikulum prototipe
Tentunya bukan hal yang mudah bagi sekolah-sekolah untuk memilih dan menyesuaikan diri dengan kurikulum terbaru secara cepat, sehingga penerapannya tidak merata.
Demikianlah penjelasan secara detail mengenai indikator VUCA yang menurut penulis terjadi di dunia pendidikan. Jika diperhatikan lebih seksama hampir semua indikator-indikator tersebut bermakna negatif. Ke-empatnya jelas menggambarkan kondisi yang tidak ideal. 
Oleh karenanya dibutuhkan seorang pemimpin yang tidak biasa untuk mengidentifikasi masalah serta mencari jawaban dari masing-masing indikator tersebut. Pemimpin yang menurut para pakar manajemen yaitu pemimpin yang adaptif.

Apa itu pemimpin adaptif?. 
Teori adaptive leadership dikemukakan pertama kali oleh Ron Heifetz dan Marty Linsky, dari Harvard University. Adapun definisinya yaitu, "Adaptive leadership is a practical leadership framework that helps individuals and organisations to adapt to changing environments and effectively respond to recurring problems. First, the change itself needs to be considered to subsequently take on challenges and respond to the change." Sederhananya model kepemimpinan adaptif dapat dilihat dari sejauh mana seorang pemimpin tersebut dapat mengelola organisasi serta bawahannya dalam beradaptasi dengan perubahan dan juga menjawab tantangan secara efektif.
Dalam kaitannya dengan indikator VUCA di atas, seorang pemimpin adaptif sejatinya dapat melihat kemungkinan-kemungkinan peluang solusi dari kondisi tersebut. Sementara itu The Global Competitiveness Report (2018) menyatakan bahwa saat ini gejolak VUCA sudah menjadi sesuatu yang normal. 
Kenormalan yang baru ini tidak bisa disikapi dengan gaya yang lama. Bob Johansen, dalam bukunya Leaders Make the Future: Ten New Leadership Skills for Uncertain World (San Fransisco, 2009) mengingatkan bahwa gejolak VUCA perlu dijawab dengan VUCA Prime.
VUCA yang kedua ini adalah akronim dari Vision, Understanding, Clarity, dan Agility. Pemimpin masa depan perlu memiliki keempat hal tersebut untuk menghadapi era VUCA. 
Adapun secara detail penjelasan mengenai VUCA Prime yaitu Vision (visi) dapat membedakan antara seorang pemimpin dan pengikut. Orang yang memiliki visi lebih besar akan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bervisi lebih kecil. 
Understanding (pemahaman) memiliki arti bagaimana kita paham akan perubahan dan hal-hal yang perlu disiapkan untuk menghadapi perubahan dengan baik dan benar. Clarity (kejelasan) merupakan kemampuan seseorang melihat masa depan dengan jelas yang tidak dilihat oleh lainnya. 
Seorang pemimpin mempunyai kemampuan yang sangat jelas mengenai apa yang sedang dibuat untuk mewujudkan visinya namun sangat fleksibel dalam mewujudkan visi tersebut atau sangat adaptif.
Agility (kelincahan) yang dimaksud adalah bagaimana setiap individu harus cepat tanggap dalam menghadapi perubahan, menghadapi tuntutan konsumen, dan perkembangan baru yang tiba-tiba muncul.
Pada akhirnya, pemenang di masa depan adalah orang-orang yang mampu mentransformasikan volatility, uncertainty, completed, dan ambiguity menjadi pengertian lain yaitu vision, understanding, clarity dan agility
Oleh karena itu, kepala sekolah harus cepat tanggap dalam menghadapi perubahan yang terjadi di lingkup pendidikan, bahkan di tingkat global. Kemudian, sebagai adaptive leaders ia mampu beradaptasi dengan perubahan tersebut. 
Sehingga sekolah tidak hanya sekedar bertahan atau mempertahankan eksistensinya, tapi juga harus bisa menjadi inspirator dalam membangun peradaban dan ekosistem ilmu pengetahuan. Wallahu'alam


Purworejo, 10 Maret 2022
Salam KS Bloogger

Rabu, 09 Maret 2022

TIDAK ADA LAGI "SISWA PALING" DALAM PENDIDIKAN KITA


TIDAK ADA LAGI "SISWA PALING" DALAM 
PENDIDIKAN KITA


Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo


Rabu pagi ini sehabis keliling melihat siswa-siswi kami mengerjakan soal PTS 2 saya langsung menuju ke ruang sekertariatan Penilaian Tengah Semester 2. Di sana kami berbincang-bincang dengan panitia PTS 2 terkait dengan kegiatan ini termasuk bagaimana dengan siswa-siswi kami. Ada yang menarik dari perbincangan pagi ini ketika salah satu dari mereka menceritakan bagaimana kunci menjadi `murid yang dikenal` oleh guru terlepas positif maupun negatif. Guru tersebut mengatakan bahwa di sekolah rata-rata guru mengenal hanya tiga tipe murid yang selalu diingat dalam hidupnya yaitu, murid yang paling pintar dan sopan, murid paling ekstrem dan yang ketiga adalah murid yang paling kurang. Ketiga karakter tersebut itulah yang selalu diingat oleh guru meskipun siswa tersebut telah lulus. Sebenarnya apa penjelasan dari tiga karakter tersebut?

1. Murid Paling Sopan dan Pintar.   

Karakter ini sudah jelas dan tidak butuh penjelasan lagi yaitu siswa yang paling baik karakternya cenderung mendapatkan banyak apresiasi dan sanjungan dari banyak kalangan. Dalam pembelajaran siswa yang menyandang karakter ini cenderung membantu kinerja dan memudahkan dalam proses pembelajaran. Selain dikenal cepat dalam pelajaran siswa yang pintar juga dapat membantu guru membantu siswa lain yang mempunyai kesulitan. Siswa sopan juga mendapatkan banyak sanjungan dan kekaguman dari orang lain. Meskipun dipandang kurang pintar atau cerdas, kesopanan adalah karakter baik yang dapat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan karena ujung atau muara dari dari pendidikan adalah karakter yang baik.

2. Murid paling ektrem.

Siswa paling ektrem disini bisa dimaknai siswa yang terlalu dalam hal negatif, seperti paling nakal, susah diatur mendatangkan banyak masalah baik untuk guru dan sekolah. Ektrem adalah hal yang paling diingat oleh otak manusia karena mungkin bisa dirasakan dan dikenang.

3. Murid paling Kurang.

Paling kurang maksudnya disini adalah siswa yang mempunyai kekurangan dari sisi kepandaian dan kadang sangat lambat dalam bekerja. Namun bukan berarti tipe ini tidak ada kelebihan namun stereotip kurang bisa bersifat individu dan personal dari seorang guru. Mungkin saja siswa seperti ini mempunyai kelebihan seperti rajin, disiplin dan juga mungkin sopan. Untuk beberapa guru hal negatif lebih diingat daripada kelebihan yang disandang.

Namun apakah konsep pengkotak-kotakan di atas adalah hal yang benar dilakukan? jawabannya tentunya tidak. Stereotip yang di berikan kepada siswa juga akan berdampak dan melahirkan pemberlakuan berbeda sesuai dengan stereotipnya. Misalnya jika siswa menyandang siswa paling pintar atau sopan maka guru akan lebih lunak dan menyanjungnya. Berbeda jika siswa tersebut menyandang gelar ekstrem atau kurang pintar maka guru akan lebih keras untuk merubah karakter mereka `sesuai`` persepsi yang di pandang ideal oleh guru.  

Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa guru ibarat seorang petani dan siswa adalah bibit. Seorang petani yang baik meskpin di berikan bibit yang tidak unggul namun dengan perawatan yang baik, kesabaran yang tinggi serta cara dan metode yang tepat juga akan menghasilkan panen yang melimpah dan baik juga. Demikian juga sebaliknya meskipun diberikan bibit yang unggul namun ternyata petani kurang ahli, metode tidak tepat dan kurang sabar dalam merawatnya  maka bukannya tidak mungkin akan menghasilkan panen yang buruk atau justru gagal panen. Ki Hadjar Dewantara juga memperkenalkan konsep pembelajaran menghamba kepada murid atau  berpusat kepada murid yang intinya adalah proses pembelajaran setidaknya didasarkan kepada kebutuhan dan minat murid.

Guru ketika mengajar akan dihadapkan berbagai karakter siswa yang berbeda dimana mereka  mempunyai banyak perbedaan baik dari segi karakter maupun gaya belajar.  Namun faktanya dalam realisasi pengajaran guru kadang tidak menerapkan pembelajaran yang tepat sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang mereka temui. Pembelajaran yang berpusat kepada guru sulit untuk diterapkan karena orientasi yang dimiliki oleh guru tidak serta merta dapat diikuti oleh semua murid yang berbeda itu.   Untuk itulah maka hadir pembelajaran dengan konsep yang berbeda yaitu pembelajaran yang berpusat kepada murid dan berdiferensiasi. Siswa mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan tidak ada perbedaan dalam perlakuan di dalam pengajaran. Mereka dikaruniai Tuhan dengan kemampuan berbeda-beda dan seorang guru tidak bisa memaksakan skill siswa untuk diterapkan oleh siswa lainnya dengan cara yang sama. Jika seekor burung yang pandai terbang diangkasa kepandaiannya tidak bisa dipaksakan kepada seekor ikan yang juga punya skill kepandaian yang lain yaitu berenang. Begitu juga seekor ikan tidak bisa memaksa burung untuk  menyelam di dalam laut agar pandai berenang. Untuk itulah stereotip "paling" disini agar dihilangkan.  

Lalu apakah yang disebut dengan Pembelajaran berdiferensiasi? pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang mengakomodir kebutuhan belajar murid. Guru memfasilitasi murid sesuai dengan kebutuhannya. Karena setiap murid mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sehingga sebagai seorang guru tidak bisa memberikan pemberlakukan yang sama kepada semua peserta didik sesuai idealismenya. Pembelajaran seperti ini membutuhkan kreativitas  tinggi karena harus dapat menyeimbangkan perbedaan yang terjadi dan juga membutuhkan metode yang tepat dalam mengimplementasikannya. salah satu yang patut dipikirkan adalah menyuguhkan media pembelajaran yang tepat dan terukur sesuai dengan riset yang telah dilakukan. Apa yang dimakasud riset? Seorang guru harus mampu memetakan kebutuhan belajar menjadi 3 aspek yaitu kesiapan belajar, minat dan profil belajar murid . Guru sebagai seorang pemimpin pembelajaran harus mengetahui mana siswa yang tergolong Visual, Audio atau bahkan kinestetik

Jika telah melakukan riset kecil tersebut maka guru akan menggolongkan atau setidaknya mengetahui mana siswa yang tergolong dari masing-masing tersebut. Penggolongan tersebut hanya dijadikan referensi utama dalam menerapkan metode yang diterapkan kepada siswa sesuai dengan penggolongannya. Untuk itulah mengapa hadir pengajaran berdiferensiasi di dalam kelas.  Dalam strategi implementasi pengajaran differensiasi setidaknya dibutuhkan tiga strategi yaitu strategi konten, strategi proses dan strategi produk.  

Strategi konten berhubungan dengan materi apa yang diberikan kepada peserta didik. Pertimbangan materi ini juga di dasarkan riset  VAK (Visual, Auditory dan Kinestetik) sebagai tolak ukur. Siswa-siswa yang mana yang membutuhkan materi yang bersifat faoundasional dan materi yang bersifat transformatif. Materi yang bersifat foundational seperti materi-materi dasar tentang konsep dan ide-ide yang masih bersifat mendasar. Materi transformational adalah materi yang bersifat jauh lebih dalam dan berkelanjutan . Disini juga dianalisa tentang kesiapan belajar murid, apakah siswa siap menerima materi yang bersifat abstrak ataukah mereka masih membutuhkan materi yang bersifat konkrit dan hal itu juga disipakan media yang tepat sesuai minat belajar mereka.

Strategi selanjutnya adalah strategi proses yaitu lebih kepada bagaimana proses pembelajaran dalam berdiferensiasi. Dalam strategi proses ini guru harus membuat keputusan apakah pembelajaran bersifat mandiri ataukah bersifat kelompok. Dalam pelaksanaannya kita dapat melakukannya dengan empat cara, pertama dengan kegiatan berjenjang dan keterampilan yang sama tetapi dilakukan dalam berbagai tingkat dukungan tantangan atau kompleksitas yang berbeda-beda , kedua dengan membuat pertanyaan pemandu, ketiga membuat agenda umum dan individual dan yang keempat adalah membuat variasi waktu sesuai kemampuan siswa dalam menyelesaikan projeknya.

Strategi yang terakhir adalah strategi produk. Di dalam strategi ini yang perlu guru pikirkan adalah tagihan apa yang kita harapkan dari murid. Produk adalah hasil karya nyata unjuk kerja oleh murid-murid kita. Produk adalah karya yang dapat dilihat bisa berbentuk sebuah karangan, tulisan, hasil tes, pertunjukan diagarm, rekaman dan lain sebagainya

Dalam realisasi diferensiasi produk adalah pertanyaan sangat penting bagi guru untuk menentukan apa sebenarnya ekspektasi yang diharapkan dari murid, kualitas produk seperti apa yang diinginkan dari mereka? bagaimana mereka harus mengerjakannya? dan apa sifat yang ada pada produk akhir yang diharapkan tersebut?. Jika dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka produk yang dihasilkan akan merujuk sesuai dengan minat murid dan tidak cenderung homogen.

Dengan menerapkan pembelajaran berdiferensiasi maka kita telah menerapkan pembelajaran yang adil kepada semua siswa yang berbeda-beda lewat gaya pembelajaran mereka. Maka dengan demikian tidak ada lagi siswa yang paling di sayang, paling di benci dan paling yang lain.


Purworejo, 9 Maret 2022

Salam KS Blogger

Minggu, 06 Maret 2022

MENJADI KEPALA SEKOLAH, "PINTAR" SAJA TIDAK CUKUP ?

 

MENJADI KEPALA SEKOLAH, 
"PINTAR" SAJA TIDAK CUKUP ?



Oleh :
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo


Secara sederhana kepala sekolah dapat diartikan sebagai seorang fungsional guru yang diberikan tugas tambahan untuk memimpin satuan pendidikan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar. Kepala sekolah menjadi puncak pimpinan tertinggi di sekolah yang akan memberikan pengaruh hebat terhadap kemajuan sekolah. 
Dengan demikian jabatan kepala sekolah dewasa ini menjadi posisi yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.

Pada era revolusi industri 4.0 saat ini menjadi seorang kepala sekolah tentu saja tidak cukup dengan modal pintar saja, namun ada beberapa hal yang sepatutnya dimiliki, diantaranya:

1. Menjadi Teladan

Sosok kepala sekolah pada suatu pendidikan akan menjadi "role model" bagi seluruh warga sekolahnya, baik dan buruknya perilaku yang diperlihatkan akan menjadi cerminan dan tentu mendapatkan penilaian tersendiri bagi warganya. 
Sejatinya perilaku teladan yang diperlihatkan baik saat sedang bekerja maupun di luar jam kerja dapat dipertahankan oleh seorang kepala sekolah guna menumbuhkan pemikiran positif bagi orang lain yang bisa jadi akan menjadi regenerasi kepala sekolah di masa yang akan datang. 
Contoh sederhana bentuk dari keteladanan seorang kepala sekolah adalah tutur kata yang bersahaja, pengambilan keputusan yang tepat dan merata, serta memiliki tingkat emosional yang matang.

2. Kreatif dan Inspiratif

Kreatif dan Inspiratif merupakan dua hal yang senantiasa berjalan berdampingan bagi seorang kepala sekolah dalam menjalankan roda pendidikan di sekolah, hal ini dapat diwujudkan mulai dari memberikan gagasan-gagasan positif dan brilian bagi kemajuan sekolah bahkan sampai memberikan imbas kepada sekolah lain disekitarnya untuk mengikuti hal-hal baik yang sudah dilaksanakan. 
Contoh sederhana yang dapat dilihat dari perilaku kepala sekolah yang kreatif dan inspiratif adalah menjadikan lingkungan sekolah yang nyaman bagi warganya dan senantiasa mengusung pengembangan pendidikan yang berkelanjutan.

3.  Gemar Membaca

Mungkin hal ini menjadi hal yang tidak mudah untuk dilaksanakan bagi sebagian orang, terutama untuk seorang kepala sekolah. Namun pada dasarnya hidup ini terus berjalan secara dinamis, pun demikian dalam dunia pendidikan. 
Hal ini sepatutnya dilakoni oleh seorang kepala sekolah yang memiliki pemikiran maju dan berwawasan luas. Dengan demikian, dibalik usaha yang hebat seorang kepala sekolah yang tetap gemar melakukan literasi akan memberikan dampak signifikan bagi warganya untuk tetap senantiasa bertindak lokal dan berfikir global.

4. Peduli Sosial

Merupakan sikap dan tindakan yang yang selalu ingin memberikan bantuan kepada orang lain. Untuk seorang kepala sekolah sikap ini sangat diperlukan sebagai bentuk perwujudan kepedulian terhadap warga sekolah. 
Contoh sederhana adalah akan merasa sedih ketika menemukan guru yang belum mampu menyelesaikan administrasi sekolah secara tepat, bukan sebaliknya memberikan teguran yang dapat mengguncang jiwa guru yang akan berdampak tidak baik dalam proses mengajar. Dengan kata lain penting bagi seorang kepala sekolah untuk memperhatikan keberadaan orang lain secara utuh dan sepenuh hati.

5. Bersahabat dan Komunikatif

Merupakan dua hal yang sangat penting untuk dibangun dan dijalankan bagi seorang kepala sekolah, menjadi kepala sekolah sepatutnya bukan sebuah tahta yang menjadi dinding pemisah bagi warga sekolah. Namun sebaliknya, menjadikan jabatan kepala sekolah sebagai nahkoda yang akan membawa bahtera pendidikan di sekolah tersebut menjadi lebih baik dan berdampak luas untuk kemajuan pendidikan. 
Pada akhirnya bila seorang kepala sekolah mampu memiliki sikap yang bersahabat dan komunikatif akan melahirkan proses pembinaan yang efektif dan efesien.

Semoga kedepannya, semakin maju suatu bangsa berbanding lurus dengan lahirnya sosok-sosok kepala sekolah yang hebat dan menginpirasi dalam dunia pendidikan yang mampu membawa perubahan luar biasa untuk Indonesia maju. Andaikan sekarang belum ada itu hanyalah masalah waktu, situasi dan kondisi saja.


Purworejo, 6 Maret 2022.
Salam KS Blogger

HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd.

  GURU PERLU AKTIF BERLITERASI Oleh : HIMAWAN SUSRIJADI, S.Pd.,M.Pd. Kepala SMP Negeri 12 Purworejo KURIKULUM Merdeka adalah kurikulum denga...