INDEPENDENT CURRICULUM
Himawan Susrijadi, S.Pd.,M.Pd.
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo
Kepala SMP Negeri 40 Purworejo
Independent Curriculum judul yang saya pilih dalam tulisan ini sehabis saya berkeliling kelas, melihat para siswa memasuki kelas, guru menyiapkan materi di ruang guru dan aktifitas lainnya dari warga SMP Negeri 40 Purworejo tempat saya bekerja.
Saya mencoba mencermati dari kebijakan Mendikbudristek dengan sedikit browsing beberapa narasumber tokoh-toko pendidikan yang saya tahu dan semoga tulisan ini sedikit membuka cakrawala kita terkait Independent Curriculum gagasan mas menteri itu.
Parker J Palmer (1997) mengungkapkan mendidik adalah membimbing siswa melewati perjalanan dari dalam hati ke arah beragam cara yang benar untuk melihat dunia dan menjadi seseorang dalam kehidupan.
Ini menegaskan, pendidikan tak dapat dilepaskan dari fitrah manusia sebagai makhluk berpikir, memiliki nurani, rasa, dan emosi. Fitrah menjadi sumber kekuatan bagi manusia beradaptasi di segala kondisi.
Sebagai makhluk pembelajar, seseorang makin matang sejalan dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi.
Tujuan pembelajaran, menguasai hal baru dan yang menjadi pusat perhatian mencari strategi belajar. Saat ada ketidaklancaran, itu tak berhubungan dengan kecerdasan murid. Ini berarti strategi yang tepat belum ditemukan. Teruslah mencari (Carol S Dweck: 2000).
Sebagai makhluk pembelajar, seseorang makin matang sejalan dengan berbagai persoalan dan tantangan yang dihadapi.
Tujuan pembelajaran, menguasai hal baru dan yang menjadi pusat perhatian mencari strategi belajar. Saat ada ketidaklancaran, itu tak berhubungan dengan kecerdasan murid. Ini berarti strategi yang tepat belum ditemukan. Teruslah mencari (Carol S Dweck: 2000).
Maka itu, hakekat kurikulum menyediakan pilihan pengalaman belajar agar setiap anak mampu menemukan cara tepat mengasah kemampuan kemanusiaannya sesuai kekuatan, gaya belajar, minat, bakat, dan potensi unik mereka.
Engku Sjafei (1926), pendiri INS Kayutanam, Sumatera Barat, menegaskan, "Pendidikan adalah upaya membangkitkan minat siswa agar berkemauan keras untuk memilih sendiri jalan hidupnya. Penyeragaman jenis, tingkat, dan materi kurikulum untuk seluruh sekolah di mana pun lokasinya, berakibat penyeragaman kualitas dan wawasan manusia. Akibat selanjutnya memusnahkan keragaman manusia itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan kodrat alam sebagai ciptaan Tuhan. Kritiknya terhadap pendidikan, jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan."
Ini respon terhadap corak pendidikan pada masa itu, yang hanya mementingkan intelektual dan verbalistik, suatu pendidikan yang hanya menghasilkan pegawai rendahan yang dibutuhkan penguasa pada waktu itu.
Ki Hajar Dewantara (1936) menegaskan, peran pendidikan dalam memerdekakan manusia, "Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak diluar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia, sebagai benda hidup, teranglah hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrati yang ada pada anak-anak itu tiada lain ialah segala kekuatan dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak itu, yang ada karena kekuasaan kodrat. Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri".
Demikian kuatnya fondasi pendidikan memerdekakan yang dibangun pendahulu kita. Namun, dalam perjalanannya, mengapa pendidikan seperti dipaksa mengingkari maknanya sendiri?
Kurikulum seperti menjadi belenggu kreativitas guru dan memberatkan beban belajar anak. Ini tergambar dari ungkapan guru ketika ditanya apa yang terlintas pertama kali dalam pikiran mereka ketika mendengar kata kurikulum.
Jawaban spontan yang muncul adalah ribet, rumit, padat, kaku, dan membuat otak eror. Ada apa dengan kurikulum? Mengapa semua anak-anak mendapatkan materi sama, pengalaman seragam, tugas serta pengukuran atau penilaian yang sama?
Mengapa mereka dipaksa menjadi konsumen dalam pendidikan, bukan produsen yang aktif berkarya sambil mengasah potensi diri?
Hampir dua tahun, anak-anak belajar dari rumah. Bayangan kita, saat ini kamar dan rumah-rumah dipenuhi karya nyata anak sebagai hasil belajar. Ada gambar, puisi, cerita, laporan observasi, film pendek, reportase, ringkasan dan resensi buku, juga lukisan.
Semoga ini bukan hanya jadi impian para pendamba pendidikan hakiki. Kesalahan fatal kita adalah ketika merasa peduli atas pendidikan anak-anak dengan membimbing mereka mencapai titik tertentu.
Seharusnya, kita mendampingi mereka untuk mampu terus belajar dengan cara kondusif untuk menemukan titik tak terhingga, dan mungkin sama sekali tak ada dalam bayangan kita saat ini (Alfie Kohn: 2009).
Kondisi ini membuat bangsa kita mengalami krisis pendidikan berkepanjangan. Ini berdampak sistematis terhadap capaian kemampuan anak secara keseluruhan, sisi kemanusiaannya pelan-pelan hilang. Ini diperparah pandemi Covid-19.
Kurikulum pada masa darurat yang dikembangkan Kemendikbudristek melahirkan harapan, mengurangi kepadatan materi, melonggarkan aturan, guru tak diwajibkan menuntaskan kurikulum. Membuat guru memperoleh ruang cukup mendampingi setiap anak.
Ini dilanjutkan melalui Kurikulum Prototipe, salah satu opsi untuk pemulihan pembelajaran. Tiga isu utama diusung kurikulum ini. Pertama, pembelajaran berbasis proyek untuk mengembangkan soft skills dan karakter.
Kedua, fokus pada materi esensial sehingga cukup waktu pembelajaran mendalam bagi kompetensi dasar, seperti literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibilitas bagi guru dalam pembelajaran sesuai kemampuan murid dan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal.
Sebuah terobosan berani dalam kebijakan pendidikan, memberikan pilihan, bukan perintah yang mewajibkan. Tampaknya, pemerintah menyadari kekeliruan selama ini, perintah wajib menjadikan kurikulum sebagai belenggu. Welcome to independent curriculum.
Purworejo, 7 Februari 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar